SELAMAT MEMBACA...

Ass..wr wb....!

Tulisan ini hanyalah sebuah luapan yang telah lama terpendam. Jujur dari lubuk hati yang terdalam, tanpa maksud apa-apa. Ini hanyalah sebuah proses belajar. Semoga bermanfaat.

Jumat, 21 November 2008

Bumi Buppollo

Sebuah Refleksi Tentang Negeriku!


Bupollo adalah sebutan 'Buru' dalam bahasa asli Pulau buru. Pulau dengan luas wilayah 9.329,13 km ini Oleh masyarakat umum lebih di kenal sebagai tempat pembuangan tahanan Politik golongan B sekitar tahun 60-an akhir. Pada tanggal 12 oktober 1999 Buru di mekarkan sebagai Kabupaten berbarengan dengan Kabupaten Maluku Tenggara Barat lewat undang-undang no.46 tahun 1999. Sebagaimana diubah dalam undang-undang no.6 tahun 2000.

Pulau Buru atau Bumi Buppolo mulai berbenah, Pulau yang identik dengan tahanan Politik ini dalam sekian tahun berhasil berswasembada pangan. Bramu buru (beras buru) adalah produk kebanggaan petani buru yang cukup dikenal dikawasan Maluku khususnya, kehadiran Presiden SBY pada panen Raya ditahun 2006 secara tidak langsung merupakan pengakuan atas eksistensi buru dalam berswasembada beras khususnya dikawasan Maluku. Suatu kebanggaan yang luar biasa, dan cukup menghibur hati masyarakat Buru yang sedang dilanda gempa sebulan penuh, terlebih untuk mereka di bagian selatan Buru yang dilanda tsunami kecil.

Sewindu sudah pulau kecil ini memoles diri dalam konsep desentralisasi pembangunan atau lebih populernya dikenal dengan istilah "otonomi daerah". Buru kecil mulai menapak hal2 baru, perubahan demi perubahan mulai tampak disana sini. Buru memasuki era transformasi pembangunan yang terbungkus rapi dalam konsep otonomi daerah. Pendapatan masyarakatnya-pun mulai berubah, Efek sosial politik ini-pun turut mempengaruhi paradigma berpikir masyarakat tentang pentingnya arti pendidikan, ini ditandai dengan semakin banyaknya generasi muda dari bumi bupollo yang kemudian eksodus ke pulau Jawa guna menuntut Ilmu.

Pergaulan masyarakat Buru dengan Para Tapol sekian tahun lalu setidaknya telah mematangkan mereka dalam berpolitik. Analisa politik ternyata tak hanya di opinikan oleh mereka yang terlibat dalam lingkup elite kekuasaan, namun diwarung-warung kopi bisa kita jumpai analisa-analisa yang tak kalah menarik dari para masyarakat yang secara intelektual jauh dibawah standar pendidikan.

Secara kasat mata, Buru memang telah berubah dari kecamatan kecil menjadi kabupaten yang besar dengan perubahan dimana-mana, sebuah kebanggaan tentunya! namun sebenarnya perubahan itu terlihat ironis ketika sendi-sendi kehidupan di bumi kayu putih ini (sebutan teranyar) telah banyak mengalami degradasi budaya. Sedikit demi sedikit adat dan kebiasaan kita sudah mulai termarginalkan oleh kebiasaan materialisme dan budaya hedon ala barat. Paradigma materialisme ataupun hedonisme ini sangat terasa di bumi buppolo, padahal pulau yang dalam petuah leluhur masyarakatnya ini diibaratkan dengan huruf Aliff. "Buru yang aliff huruf" begitu kata tetua kita dahulu, artinya masyarakat yang polos, jujur, rendah hati dan apa adanya. kini, semuanya tinggal kenangan. Momen Pilkada 2006 kemarin setidaknya telah menunjukkan kepada kita semua bahwa identitas budaya luhur buru telah hilang oleh pragmatisme politik. Budaya jujur orang buru yang begitu dibanggakan telah berganti menjadi budaya pragmatisme yang materialistik, mereka (orang buru) telah terbius oleh lembaran-lembaran rupiah yang dibagikan oknum tim sukses. Akhirnya Pilkada 2006 itu sarat akan politik uang (money politic). Sebuah langkah yang praktis untuk suatu posisi prestisius.

Terlepas dari degrdasi budaya yang saya uraikan diatas, ternyata banyak hal yang lebih ironis dan menyedihkan lagi ketika kita menyoalkan peran pemerintah Kabupaten Buru dalam menjaga aset-aset sejarah, hal ini terlihat jelas pada pembangunan Tugu baru di desa Ubung, padahal jaraknya hanya beberapa meter dari Tugu Pendaratan TNI pada tahun 1951 yang peletakan batu pertama dilakukan oleh Wapres Muhammad Hatta. Seberapa pentingkah? Berapa Besar biaya yang dikeluarkan untuk sebuah Tugu yang baru jika dibandingkan dengan biaya perawatan Tugu yang lama dengan nilai sejarah yang tinggi.

Hal serupa juga terjadi pada penamaan tempat kediaman Bupati (pendopo). Bukankah kita mempunyai bahasa asli yang bisa dipakai sebagai sebutan untuk menamai tempat tinggal Bupati itu? kenapa harus memakai kata dari bahasa lain? Kandea adalah tempat istirahat dalam bahasa Buru yang sebenarnya bisa kita pakai, kenapa harus kata Pendopo dalam bahasa Jawa. Pertanyaanya! kenapa bahasa orang kita pakai, sementara bahasa kita sendiri, kita tinggalkan? (Niel)

4 mereka yang berkata:

Anonim,  20 Desember 2008 pukul 07.21  

Meskipun agak terpencil dan jauh disana, namun pulau buru ini banyak memberikan warna terhadap perjuangan menentang penjajah di masa lalu ...

Good posting ....!!! Salam

Umi Rina 20 Desember 2008 pukul 19.38  

Selalu ada dua sisi yang terjadi dalam suatu proses pembelajaran, positif dan negatif.
Sayangnya, tidak semua orang yang bisa memilah-milah keduanya...

Semoga saja akan ada banyak orang seperti Niel yg bisa melakukan perubahan kearah yg lebih baik buat bumi tercinta...

Nice Post!

Intan 20 September 2013 pukul 21.09  

Indah banget pulau ini....

Cara Menyembuhkan Diabetes Melitus 3 Februari 2014 pukul 11.20  

kunjungan perdana nih, ijin nyimak saja kawan :)

  © Blogger template Blogger Theme by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP